Rabu, 28 Agustus 2019

Menuju Negeri Tulip

“Aku mau ambil student exchange untuk tiga mata kuliah.”
“Di mana?”
“Ada beberapa pilihan. Tapi aku penginnya ke Leiden.”
         Itu perbincangan awal kami dengan Yasmin Amira Hanan. Putri sulung kami yang masih bersiap memasuki ujian semester enam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Kelas Internasional waktu itu. Sebenarnya ada dua pilihan untuknya. Ia bisa mengambil progam double degree ke negara yang bekerja sama dengan fakultasnya. Namun si Kakak (begitu kami memanggilnya di rumah), lebih memilih program student exchange. Kami selalu mendukung apa pun yang dipilihnya.
                Here we go ....

Mencari tempat tinggal
            Singkat cerita, semua prosedur menuju Universitas Leiden pun dipersiapkan. Mulai merancang motivation letter, menyesuaikan nilai passing grade yang ditentukan di universitas tersebut, mengurus recommendation letter ke pihak FHUI dengan mencantumkan semua prestasi terkait. Dan masih ada beberapa persyaratan lainnya yang harus dipenuhi. Termasuk mengulang hasil tes IELTS yang masa berlakunya sudah berakhir. Semua lancar dan hasilnya setingkat lebih tinggi dari hasil tes beberapa tahun sebelumnya.
            Alhamdulillah … setelah semua disubmit dan menunggu dengan harap-harap cemas, si Kakak dinyatakan lulus di Universitas Leiden. Sampai di situ memang lancar dan kami sama-sama bersyukur. Namun Allah selalu menguji dengan cara-Nya. Tibalah saat yang bikin kami deg-degan. Si Kakak belum juga mendapatkan tempat tinggal di sana. Sementara, tempat tinggal adalah syarat untuk memperoleh visa pelajarnya.
Karena jarak waktu dengan dimulainya jadwal perkuliahan begitu pendek, maka mencari tempat kost atau apartemen yang harganya rata-rata pun menjadi sulit. Beberapa yang dimunculkan di website terlihat available tapi saat dihubungi selalu berakhir dengan ketidakpastian. Ada yang murah tapi di luar kota Leiden atau ada di Leiden tapi harus berbagi kamar mandi dan dapur. Si Kakak ingin mencari kamar yang sudah ada dapur di dalamnya agar ia leluasa jika ingin memasak makanannya sendiri. Tidak bercampur dengan alat masak anak kost lainnya.
            Saya pun ikut membantu mencari informasi lewat beberapa teman. Alhamdulillah semua mau membantu memberikan informasi. Namun tidak semudah yang dibayangkan karena memang semua kamar yang mereka tahu sudah terisi atau alamatnya tidak bisa dijadikan syarat pengurusan visa.
Allah Maha Baik. Berkat kesabaran yang dibumbui dengan sesekali perdebatan kecil, akhirnya si Kakak mendapatkan tempat kost juga di Leiden. Modelnya seperti apartemen. Ada beberapa kamar yang diisi oleh laki-laki dan perempuan. Kamar mandi yang ada di setiap lantai saja yang berbagi. Dapurnya ada di dalam kamar masing-masing. Walaupun sedikit tidak pas dengan ekspektasi (penginnya semua perempuan -red), tapi ya sudahlah. Yang penting selalu waspada dan berhati-hati menjaga diri.
Oiya, jarak tempat kost itu sekitar 1,5 Kilometer ke kampusnya. Meskipun kami harus rela membayar sebulan pertama (bulan Juli) sementara kami belum tiba di sana pada bulan tersebut. Plus minusnya selalu ada. Dengan harga yang tidak terlalu jauh dari target, akhirnya kami sepakat untuk mengambil apartemen itu.
“Jangan pikirkan ruginya lagi,” ujar suami agar kami tidak terlalu fokus ke hitung-hitungan ruginya melulu.
Maka saya pun membuat daftar untungnya agar hati tidak terlalu berat mengeluarkan sekitar 800 Euro dengan cuma-cuma. Mau gimana lagi, kondisinya memang sudah seperti itu. Harus diikhlaskan sebab tidak ada yang mudah untuk meraih cita-cita.

Proses keberangkatan yang dramatis
            Saya dan suami ingin ikut mengantarkan. Selain sibuk mengurus kebutuhan si Kakak, kami pun disibukkan dengan pengurusan paspor, visa dan tiket pesawat juga. Bagian pengurusan yang ini diambil alih oleh suami. Saya membantu membuat rencana perjalanan selama di sana. Alhamdulillah, visa sudah di tangan, tiket pesawat sudah dibeli, penginapan dan hotel sudah dipesan, dan kami in shaa Allah siap berangkat bertiga. Qadarullah … izin yang diajukan suami ternyata tidak seluruhnya disetujui oleh atasannya.
Panic attack!
Saya sempat nelangsa mendengar kabar via telepon dari suami. Si Kakak pun terdiam lesu menyimak suara bapaknya yang terdengar kecewa. Padahal saat itu saya sedang bersemangat membantunya menata ulang isi koper yang akan dibawa. Hilanglah gairah beberapa saat. Isi koper kami biarkan berserakan di atas kasur.
Terjadilah diskusi yang malah mirip perdebatan. Saya masih berusaha mencari solusi agar izin itu bisa diubah. Konyol sih tapi melihat wajah anak gadis saya mendadak murung dengan mata berkaca-kaca, saya menepis pikiran konyol itu. Padahal keputusan atasan adalah keputusan! Bawahan harus manut! Jika membangkang, pasti ada konsekuensi. Itu sempat terlupa oleh saya dan si Kakak. Saya tidak ingin itu memengaruhi karir suami.
Akhirnya tidak ada solusi selain kami yang harus mencari jalan terbaik, demi buah hati yang sudah menyimpan semangat penuh menuju universitas pilihannya. Ia begitu bersemangat karena tahu Bapak dan Ibunya akan ikut mengantar, ternyata tidak sesuai dengan keinginannya. Airmata gadis kami pun tak bisa dibendung. Ia mencoba bernegosiasi dengan bapaknya.
Saya biarkan saja situasi itu demi memuaskan hatinya. Saya biarkan ia sambil sesenggukan menyimak penjelasan bapaknya. Ia juga harus belajar berhadapan dengan situasi ini agar jika suatu hari nanti mengalami hal serupa dengan dunia kerjanya, ia sudah bisa memahami bagaimana seharusnya untuk bijak bersikap.
Saya tahu hatinya masih terselip rasa kecewa karena semua yang direncanakan jadi sedikit berubah dan berantakan. Termasuk saya dan suami harus mengubah tanggal keberangkatan dan kepulangan tiket pesawat. Ada biaya tambahan di situ. Kami harus ikhlas. “Uang bisa dicari,” kata suami saya. Keikhlasan itu memang mahal tebusannya tapi tinggi nilainya untuk menjaga kredibilitas. Ini menjadi pelajaran penting bagi suami dan kami sebagai orang yang mendukung karirnya.

Lima hari pertama bersama Ibu
            Semua sudah rapi dan saya siap mengantarkan si Kakak menuju negara yang juga dijuluki sebagai negeri kincir angin itu. Tanpa si Bapak. Kami sudah ikhlas untuk berangkat berduaan saja. In shaa Allah suami saya akan menyusul agar tanggal pengurusan segala sesuatunya di Leiden sana bisa klop. Hari Sabtu, 3 Agustus 2019 selepas magrib kami bergerak dari Bekasi menuju bandara Internasional Soekarno Hatta.


            Kekecewaan di wajah si Kakak masih tersisa tapi saya sengaja mengajaknya untuk fokus ngobrol tentang bagaimana nanti di Leiden. Sepanjang perjalanan, si Bapak sesekali memberi wejangan supaya begitu begini agar kami nyaman saat tiba di sana nanti.
            Kami pun tiba di bandara Soetta. Meja check in belum dibuka. Si Bapak mengajak kami makan malam sambil menunggu waktu. Baru kali ini saya dan si Kakak bepergian berdua dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Terakhir kami ke luar negeri berdua, hanya sampai di Singapore saja. Untuk yang pertama tentu ada rasa yang berbeda. Apalagi kondisi ini tidak direncankan sebelumnya. Mendadak diubah itu yang bikin hati menyimpan beragam rasa.
            Singkat cerita, kami pun harus berpisah sementara dengan si Bapak. “Kami tunggu di Leiden ya, Pak,” ujar si Kakak penuh makna yang bikin hati saya nyaris bergerimis. Ternyata hatinya masih belum melepas rasa kecewa itu sepenuhnya. Biarkanlah … toh ia harus belajar menerima kondisi yang belum tentu semua sesuai dengan keinginannya.


            Setelah itu saya dan si Kakak pun bergegas menuju meja imigrasi. Alhamdulillah semua lancar hingga kami masih bisa menunaikan salat Isya bersama di dekat gate tempat menunggu boarding. Tidak terlalu membosankan waktu untuk menunggu saat itu. Saya dan si Kakak sesekali berbincang membayangkan situasi Leiden seperti apa nantinya. Lewat tengah malam, pesawat Qatar yang akan membawa kami pun terbang menuju Doha. Yup! Kami harus transit  di Doha International Airport.

Dari Doha menuju Schiphol, Amsterdam
            Kami tiba di bandara Doha sekitar pukul 06.30 waktu Doha. Penerbangan berikutnya menuju Amsterdam dijadwalkan pukul 07:50 waktu Doha. Perbedaan waktu Doha dan Amsterdam sekitar satu jam. Kami masih punya waktu untuk bebersih di kamar mandi bandara.





            Setengah jam menjelang boarding, kami memutuskan untuk menunggu di gate yang sudah ditentukan. Hingga akhirnya penerbangan berikutnya pun dimulai. Sekitar 6 jam di udara, akhirnya kami mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam sekitar pukul 13:45 waktu Amsterdam.
            Bandara ini tidak banyak berubah setelah terakhir saya dan suami sampai di sini tahun 2015. Dari pesawat, kami tidak langsung bertemu dengan pintu imigrasi. Petugas bandara meminta semua pendatang antri untuk masuk secara bertahap. Tiba giliran kami. Prosedur seperti biasa di setiap imigrasi bandara kembali kami ikuti.



            Sekuritas bandara merupakan teknik yang dipakai untuk melindungi penumpang, staf, dan pesawat pengguna bandara dari gangguan dan ancaman. Selain harus memeriksa peranti elektronik yang dibawa, penumpang juga harus melepas jaket, tali pinggang, dan sepatu berbahan kulit saat melewati petugas bandara. Namun untuk melewati pintu imigrasi Bandara Schiphol, Amsterdam, harus patuh mengikuti aturan ketat dan rincian pemeriksaan peranti baru bernama milimeter wave images machines.
Saat kita berada di dalam kubikal, mesin di dalam alat tersebut akan mengirimkan gambaran tubuh kita dalam keadaan … maaf … bugil, ke pihak keamanan bandara yang berada sekitar 20 meter dari mesin tersebut. Gelombang elektromagnetik akan digetarkan ke penumpang yang berdiri di kotak pemindai dengan posisi tubuh kaki menginjak tanda telapak kaki dan kedua tangan diangkat ke atas. Proses scan (pindai) berlangsung cepat yaitu sekitar 3 – 5 detik.


Alat ini dapat melihat sudut-sudut tubuh, bahkan garis alat kelamin, tapi jangan khawatir … hasil gambar itu tidak akan pernah bisa disimpan maupun digandakan (dikopi). Intinya, alat ini sangat menjunjung tinggi privasi, sebab petugas yang melihat hasil akhir berupa foto hitam putih, berada di ruang terpisah dan tidak akan pernah melihat penumpang yang sedang di-scan.
Proses imigrasi pun terlewati tanpa kendala. Tinggal mengambil bagasi dan membeli nomor sim card baru di bandara.  Sebelum menuju Leiden kami harus menginap semalam dulu di Amsterdam. Badan yang lumayan lelah pun mulai diajak bekerja sedikit ekstra untuk menggeret 2 koper ukuran besar dan 1 koper ukuran kabin. Kami harus menyambung naik kereta dari bandara menuju stasiun Amsterdam. Hotel yang kami pesan tidak terlalu jauh dari stasiun. Tepatnya berada di pusat kota.


Tiba di pintu hotel, wajah saya dan si Kakak langsung lesu. Kami lupa bahwa sebagian besar hotel-hotel kecil di Belanda memang tidak memiliki akses lift atau eskalator untuk mencapai beberapa lantai gedungnya. Tenaga yang memang sudah menurun pun terpaksa dikuat-kuatkan untuk membawa koper menuju lantai resepsionis. Saking capeknya, saya lupa memoto tangga hotel itu.
Setelah selesai check in, kami harus menaikkan koper itu lagi ke lantai berikutnya. Alamaaak … luar biasa! Otot lengan langsung teriak minta tolong. Seandainya seperti di Indonesia, kami rela mengupah orang daripada harus sesak napas dan terengah-engah membawa koper yang beratnya rata-rata 25 kilogram. Hiks!
Kebab ayam sayur 
Kelelahan sempurna kami rasakan. Si Kakak sampai tidak sanggup lagi menemani ketika saya mengajak keluar untuk mencari makan malam. Setelah salat dan bebersih, saya pun meninggalkannya di kamar demi mencari sesuap nasi makanan halal untuk kami santap malam itu. Alhamdulillah, penjual kebab yang dulu pernah kami singgahi ternyata masih setia berdagang. Ukuran kebab yang lumayan besar, cukuplah untuk makan malam kami berdua.
Well … sampai di sini catatan pertama perjalanan mengantarkan si Kakak menuju kampus pilihannya di Leiden. Tunggu lanjutannya di www.wylveraleisure.com ya. [Wylvera W.]

Jumat, 13 Oktober 2017

Pelatihan Menulis di School of Universe



Bermula dari informasi yang dibagi oleh salah satu teman di grup WhatsApp. Beliau bertanya apakah ada teman-teman di grup yang bisa mengisi pelatihan menulis di sekolah alam yang berlokasi di Parung Bogor. Beberapa merespon tapi belum ada yang pasti bisa mengisi. Sebelum ikut merespon, saya sempat browsing sebentar tentang profil sekolah alam tersebut. Wah! Melihat sekilas sekolahnya, saya langsung antusias untuk berkunjung ke sana. Saya mencoba menjapri beliau (Dewi Liez) dan bertanya seperti apa konsep model pelatihan yang diinginkan.

Ini chat saya dengan Mbak Dewi
Ini chat dengan Mbak Iin
  Akhirnya kesepakatan terjadi. Saya dihubungkan dengan salah satu orangtua murid dari sekolah itu. Respon hangat dan menyenangkan kembali terjadi. “Pucuk di cinta ulam pun tiba”. Iin Savitry (nama orangtua murid itu) ternyata sudah mengenal profil saya. Bahkan anak beliau katanya nge-fans ke saya. Tersanjung banget baca komentarnya. Obrolan singkat pun terjadi dan akhirnya kembali menghasilkan kesepakatan. Saya kembali dihubungkan dengan salah satu guru dari sekolah itu untuk membicarakan teknis pelatihan. Tidak berpanjang-panjang diskusi, mereka menyetujui konsep yang saya ajukan. Maka, saya pun bersiap menyusun materi tayangan.

Menyiapkan materi sesuai tema yang diminta        
            Dari hasil obrolan dengan Iin, kegiatan pelatihan menulis ini merupakan rangkaian dari acara “Literacy Fair” yang puncaknya akan digelar pada tanggal 4 November 2017.  Di acara puncak nanti, setiap siswa (kelas 3 – 6) diminta membuat karya tulis dengan tema besar “Aku dan Rasulullah saw.” Oleh sebab itu, saya diminta untuk memberikan materi panduan agar anak-anak paham bagaimana menuliskan karyanya tentang tema tersebut. Saya juga diingatkan bahwa karya tulisnya bukan artikel ilmiah. Anak-anak hanya diminta bercerita lewat tulisan saja. 
            Dua hari sebelum hari “H” saya pun sibuk menyiapkan materi. Sementara langkah-langkah menulis cerita serta motivasi untuk mulai semangat menulis tetap menjadi panduan pembukanya. Tema “Aku dan Rasulullah saw” Saya jadikan contoh dalam penerapan langkah-langkah menulis tersebut. Bongkar pasang materi dengan template PowerPoint yang sudah ada akhirnya kelar.

Lelah efek kemacetan akhirnya terbayar
            Hari Kamis, 12 Oktober 2017 pun tiba. Pagi-pagi sekali saya sudah siap untuk berangkat menuju Sekolah Alam – School of Universe, Parung Bogor. Perjalanan pagi dari Bekasi yang luar biasa macetnya menjadi pelengkap perjuangan menyetir agar tiba tepat waktu di sekolah itu. Rasa cemas mulai mengganggu ketika jam di mobil sudah melewati angka delapan. Saya harus tiba di sekolah itu tepat pukul 08.30 WIB. Sementara acara pelatihan akan dimulai pada jam sembilan.
            Alhamdulillah, dengan menambah kecepatan menyetir, saya dan asisten (keponakan saya) yang ikut menemani akhirnya tiba di sekolah itu kurang dari waktu yang dijanjikan. Begitu turun dari mobil, kecemasan dan rasa lelah tiba-tiba menguap. Udara alam terbuka yang disuguhkan oleh School of Universe begitu memanjakan pandangan saya. Ditambah sambutan hangat para guru (mereka menyebut dirinya fasilitator/fasil) dan Iin Savitry membuat saya lupa kalau sudah degdegan menyetir selama dua jam lebih dari Bekasi. 


Langsung segar melihat penampakan sekolahnya seperti ini

            Nama “Sekolah Alam” yang digagas oleh Bapak Lendo Novo ini memang layak disandingkan pada School of Universe. Lendo Novo yang pernah meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI, 12/09/2009) telah mendesain School of Universe menjadi sekolah yang menyenangkan. Area luas yang ditumbuhi oleh pepohonan dan bunga-bungaan benar-benar menampilkan model sekolah alam yang sesungguhnya. Ruang-ruang kelas yang dindingnya terbuat dari papan dan didesain semi terbuka itu membuat mata saya mendadak fresh. Mood saya langsung melonjak karena tak sabar ingin segera bertemu dengan peserta pelatihan.

Naluri buat berfoto mendadak kambuh :)
            Pukul 08.45, saya diajak menuju lokasi pelatihan yang sudah disiapkan pihak sekolah. Sambil berjalan menuju tempat yang mereka sebut joglo itu, mata saya masih saja jelalatan memandangi area sekitar yang begitu sejuk dan asri. Betapa anak-anak yang bersekolah di situ betah berlama-lama menikmati alam terbuka sambil menimba ilmu.
           
Pelatihan menulis cerita
            Ketika sampai di joglo, saya memandangi sekilas wajah anak-anak yang terlihat sama tak sabarnya menunggu kehadiran saya. Dengan sigap para fasil mengatur duduk mereka agar terlihat rapi sebelum acara dimulai. Dari 75 orang yang akan mengikuti pelatihan, lebih dari setengahnya adalah murid laki-laki.
Surprise!
Baru kali ini saya mendapatkan peserta pelatihan yang didominasi oleh anak laki-laki usia sekolah dasar dan terlihat bersemangat ingin mendapatkan ilmu menulis. Saya senyum-senyum sendiri melihat tatapan mata mereka yang tak lepas memandangi saya yang bersiap menyuguhkan ilmu menulis.
Bu Ana membuka acara
            Pelatihan menulis dibuka oleh Bu Ana (salah satu fasil) dengan mengenalkan saya kepada anak-anak yang telah duduk rapi. Tidak lama, Bu Ana langsung menyerahkan acara kepada saya. Salam pun saya ucapkan untuk memulai sesi pelatihan. Sekilas saya mengenalkan diri kembali. Sebelum memulai pelatihan, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. Diantaranya tentang alasan mereka berkumpul dan menunggu saya di tempat itu. Spontan mereka menjawab “Mau belajar menulis ceritaaa …!” Jawaban penuh rasa semangat itu membuat saya yakin dan segera membuka materi pertama.

Pelatihan pun dimulai
            Tayangan dari materi pertama yang saya tampilkan adalah tentang sebuah pertanyaan “Saya ingin menulis, apa yang harus saya lakukan?” Lagi-lagi spontan mereka mengangkat tangan dan berebutan menjawab. “Harus ada alat tulis!”, “Pakai cerita!” “Ada temanya!” Lalu sayup-sayup terdengar seorang anak menjawab, “Harus ada ide!”
            Saya membenarkan semua jawaban mereka dan melengkapi jawaban dengan slide berikutnya. Saya sampaikan bahwa keinginan mereka untuk menulis harus diawali dengan niat, keyakinan, fokus, kekonsistenan, dan kedisplinan. Mendadak ekspresi mereka berubah takjub sambil menatap ke layar infokus. Lucu melihatnya. 

Selalu ada saja yang nggak fokus tapi itu biasaaa ;)
            Setelah saya paparkan satu per satu dari lima modal awal itu, barulah saya tanyakan lagi hal apa lagi yang mereka perlukan saat menulis. Kembali mereka berebutan menjawab. Dua anak lantang berseru, “Ideee …!” Jawaban kedua anak yang bernama Melodi dan Alya itu sangat tepat. Selanjutnya Melodi dan Alya pula yang berulang-ulang saya jadikan contoh di sela-sela pemaparan materi. Mereka tersenyum-senyum malu.

Melodi (jilbab hijau) dan Alya (jilbab cokelat)
            Setelah saya menyampaikan tahapan awal menulis, terlihat sekali anak-anak itu mulai tak sabar ingin memraktikannya. Saya lanjutkan materi dengan langsung memberikan contoh tema besar tentang “Indahnya Akhlak Rasulullah saw”. Pelan-pelan saya jelaskan bagaimana cara agar ide tentang tema besar itu bisa dijadikan sebuah cerita menarik dan memberi kesan buat pembaca. Mulai dari mengemas pohon ide sampai kepada rantingnya. Memberikan contoh cara menciptakan konflik/kendala pada cerita, memunculkan karakter tokoh, menjelaskan tiga unsur besar (tema, setting, alur) dan unsur penting lainnya yang dibutuhkan dalam menulis cerita. Tak lupa saya berikan tips agar tidak kesulitan membuat judul.
            Untuk lebih memudahkan mereka memahami apa yang sudah saya jelaskan, saya juga memberikan contoh bagaimana cara membuat pendahuluan dalam cerita, seperti apa bentuk konflik/tantangan itu, dan bagaimana mengemas ending (akhir) dan penutup cerita agar memberi kesan mendalam bagi pembacanya. Mata mereka tak lepas-lepas memandangi saya dan sesekali menatap layar.
Contoh cara membuat konflik/kendala cerita
            Di awal pertemuan dengan beberapa fasil, saya diminta memaklumi jika dalam pelatihan akan sulit mengarahkan anak-anak. Namun selama dua setengah jam di sesi pertama, saya justru tidak merasa terganggu. Anak-anak peserta pelatihan yang terdiri dari kelas 3, 4, 5, dan 6 itu relatif fokus. Padahal katanya anak-anak itu sangat kreatif, aktif, dan terkadang susah diajak duduk tenang. Ada sekitar lima anak yang berkebutuhan khusus juga diikutkan dalam pelatihan itu. Satu anak sesekali lari ke depan dan mengambil mic yang saya pegang. Yang lainnya ada yang menangis juga tapi semua itu bukan kendala besar dan tak terlalu sulit menenangkannya kembali.
Betapa bahagia dan bersyukurnya karena sedikit pun saya tidak merasa kesulitan mengajak anak-anak itu untuk tenang dan konsisten fokus menyimak materi yang saya sampaikan dari awal hingga akhir.

Games dan jokes sebelum sesi praktik
            Jangankan anak-anak, orang dewasa saja terkadang sulit untuk mempertahankan ritme agar tidak bosan saat menyimak materi yang disajikan lebih dari dua jam. Gestur seperti itu tentu sesekali terlihat pada beberapa anak School of Universe yang menjadi peserta pelatihan menulis itu. Namun, tidak terus-menerus dan tidak terlalu mengganggu.
            Dari sekian banyak pengalaman menjadi pemateri di pelatihan menulis untuk anak-anak yang pernah saya lakoni, kekuatan joke dan celetukan jenaka bisa mencairkan suasana bosan. Ditambah games menarik terkait materi juga mampu membuat perhatian anak-anak peserta pelatihan itu tetap terjaga. Tips itu  pula yang saya lakukan pada pelatihan menulis di sekolah alam tersebut. 
 
Faruq, Hanif, dan Kayne mencoba tantangan
Dalam hitungan ke sepuluh, Kayne bisa menulis 5 kata
            Saya bertanya siapa di antara 75 anak yang ada di joglo itu mau ke depan. Suara riuh dan saling berebut tunjuk tangan sambil menyebut “Saya, Bu …!” kembali menggaung. Akhirnya saya memilih tiga murid laki-laki (Faruq, Hanif, dan Kayne) untuk maju. Walaupun tidak ada hadiah yang disediakan untuk permainan itu, keantusiasan mereka tidak surut. Tidak hanya Faruq, Hanif, dan Kayne yang asyik dalam permainan, saya tetap melibatkan semua anak untuk memandu ketiga teman mereka yang ada di depan. Terciptalah suasana menyenangkan yang kembali membuat mereka rileks sebelum mengawali sesi praktik menuliskan ceritanya.

Praktik menulis sesuai tema
            Tibalah sesi praktik menulis yang hasilnya akan diperlombakan untuk mendapatkan hadiah. Setelah kertas bergaris dibagikan, saya pun menampilkan tema apa yang harus mereka jadikan cerita di layar. Saya meminta mereka menulis tentang tema “Aku dan Rasulullah saw.” Tema inilah yang akan dijadikan bahan pameran di acara puncak “Literacy Fair” di sekolah itu.
Mereka saling berpandangan dan terkesan senang. Di awal saya memang sempat mendengar informasi bahwa saat anak-anak ini diminta menuliskan tema tersebut, mereka masih bingung mau menuliskan apa. Itu sebabnya saya diundang untuk memberikan panduan menuliskannya. Itu pula yang membuat binar di mata mereka spontan terpancar. Alhamdulillah … saya senang melihat ekspresi itu.
Sekitar 45 menit mereka saya beri waktu untuk menuangkan ide-idenya terkait tema yang diberikan. Tentu saja tidak semua anak bisa langsung berkreasi menuangkan idenya menjadi sebuah cerita. Tetap ada saja yang masih bingung dan dalam sepuluh menit waktu berjalan, kertasnya masih kosong. Hal ini wajar karena kemampuan anak dalam menyerap ilmu tentu berbeda. 

Ada yang masih bingung memulai ceritanya
Saya hampiri beberapa anak yang masih bingung itu. “Saya memang sudah pernah dengar cerita Rasulullah tapi saya lupa, Bu. Gak tau mau nulis apa,” ujar salah satu dari anak yang bingung itu. Tidak ingin mematahkan semangatnya, saya justru menyemangati untuk tetap menulis cerita tentang mengapa dia lupa pada kisah itu. “Jangan bingung. Kelupaan kamu pada kisah Rasulullah saw. tetap bisa menjadi sebuah cerita yang menarik. Ayo ceritakan kenapa kamu bisa lupa padahal dulu kamu pernah mendengar cerita Rasulullah dari guru kamu,” ujar saya memancing agar ide itu muncul di kepalanya. “Ooo … boleh nulis gitu ya, Bu?” tanyanya lugu. Saya mengangguk mantap. Matanya kembali berbinar dan mulai menulis.
Ada juga anak yang katanya paling susah kalau disuruh menulis karena ia tidak suka. Mencatat bahan pelajaran pun hampir tak pernah dilakukannya. Bu Ana menceritakan itu di akhir sesi. Untunglah saat sesi praktik, saya menemukan anak itu. Mungkin tanpa sadar saat saya bertanya “Adakah yang belum menuliskan satu kata pun?” anak itu mengangkat tangannya. Dengan lantang ia berseru, “Bingung mau nulis apaan!”
Lagi-lagi tidak ingin mematahkan semangatnya untuk ikut serta berlomba menulis, saya meminta ia menuliskan tentang rasa bingung itu. Mengapa ia bingung mau menuliskan apa? Apakah ia tidak ingat atau belum pernah mendengar kisah tentang Rasulullah? Sebisa mungkin saya arahkan anak itu untuk memancing ide di kepalanya agar bisa dijadikan tulisan. Tidak mengapa jika apa yang ditulisnya tidak sesuai dengan tema, yang penting ia mau memulainya.

Cerita terbaik mendapat hadiah
            Setiap memberikan pelatihan menulis, saya berusaha untuk tidak pelit membawa hadiah. Biasanya hadiah yang saya bawa berupa buku-buku karya saya sendiri, buku kompilasi, dan buku-buku karya anak-anak saya yang stoknya masih ada di rumah. Di samping itu, saya juga selalu menanyakan apakah pihak penyelenggara juga mau menyediakan hadiah. Hadiah dari saya biasanya tidak saya beritahu kepada panitia. Saya jadikan itu sebagai kejutan agar peserta pelatihan merasa lebih bersemangat saat mengikuti sesi praktik menulisnya.

Ini sembilan cerita yang terpilih

            Di awal sesi praktik saya sampaikan bahwa selain hadiah dari pihak sekolah, saya juga akan memberikan bonus hadiah untuk mereka yang berhasil menulis cerita yang keren. Mendengar itu, anak-anak terlihat bersemangat dan tak sabar untuk memulai menuliskan cerita mereka. 

Ini para pemenangnya ... eh, satu lagi ke mana ya?
            Lebih 45 menit mereka berlomba menuliskan cerita bertema “Aku dan Rasulullah saw”. Saya pun diberi waktu untuk membaca dan memilih para pemenangnya di saat mereka salat dan makan siang. Terpilih sembilan cerita terbaik. Penulisnya terdiri dari murid kelas 3, 4, 5, dan 6.

Ada pertemuan tentu ada perpisahan
            Usai sudah pelatihan menulis bersama anak-anak Sekolah Alam – School of Universe, Parung Bogor. Saya tutup momen kebersamaan di hari itu dengan kembali memotivasi agar mereka terus berlatih dan menjadi terampil menulis. Saya katakana bahwa ingin menjadi apa pun mereka nanti dan profesi apa saja yang ingin mereka tekuni, kemampuan menulis bisa memperkaya keterampilan mereka. Saya yakinkan bahwa banyak sekali keuntungan positif jika mereka mau melatih kemampuan menulisnya.

Bersama seluruh peserta dan panitia pelatihan menulis
            Sebelum benar-benar berpisah, kami pun berfoto bersama. Ada satu hal yang membuat saya haru. Tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampiri saya dan berkata, “Bu … saya kok jadi pengin nulis cerita tapi bukan pendek tapi cerita seperti buku cerita gitu. Ternyata gampang ya, Bu. Jadi semangat saya,” ujarnya dengan mimik lucu penuh antusias. “Bu, kapan lagi Ibu datang ke sini?” lanjutnya lagi membuat saya sempurna terharu. Saya respon ia dengan balasan tak kalah antusias. 

Terima kasih, School of Universe :)
            Semoga apa yang saya berikan di sekolah alam itu bisa diserap dan jadikan bekal dalam kegiatan tulis – menulis. Aamiin. Sampai jumpa di pelatihan lainnya. Salam. [Wylvera W.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...